JAKARTA - Pergerakan nilai tukar rupiah kembali menjadi perhatian pelaku pasar di tengah dinamika global yang belum sepenuhnya mereda. Menjelang akhir tahun, fluktuasi kurs kerap dipengaruhi oleh kombinasi sentimen eksternal dan domestik, mulai dari kondisi geopolitik hingga ekspektasi data ekonomi negara maju.
Situasi tersebut membuat rupiah bergerak dengan kecenderungan melemah, meskipun masih berada dalam rentang yang relatif terkontrol. Pada Selasa, 23 Desember 2025, rupiah diperkirakan bergerak di kisaran Rp16.770 hingga Rp16.810 per dolar AS.
Rentang ini mencerminkan tekanan yang masih membayangi mata uang domestik, seiring meningkatnya kehati-hatian investor global. Pergerakan rupiah tidak terlepas dari arah dolar AS dan sentimen pasar yang sensitif terhadap isu ekonomi serta geopolitik internasional.
Pergerakan rupiah di pasar keuangan
Mengacu pada data Bloomberg, nilai tukar rupiah ditutup melemah sebesar 0,16 persen atau 27 poin ke level Rp16.777 per dolar AS. Pelemahan ini terjadi seiring dengan sikap wait and see pelaku pasar menjelang rilis sejumlah data ekonomi penting dari Amerika Serikat. Meski rupiah melemah, indeks dolar AS justru ditutup turun tipis sebesar 0,05 persen ke posisi 98,55.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pelemahan rupiah tidak sepenuhnya disebabkan oleh penguatan dolar AS, melainkan lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal lainnya. Pergerakan mata uang regional yang cenderung berfluktuasi juga menjadi faktor yang ikut menekan rupiah.
Di tengah likuiditas pasar yang mulai menurun menjelang libur akhir tahun, volatilitas nilai tukar menjadi lebih sensitif terhadap sentimen negatif.
Bagi pelaku usaha dan investor, kondisi ini menuntut kewaspadaan dalam mengelola risiko nilai tukar. Rupiah yang bergerak di kisaran atas Rp16.700 per dolar AS mencerminkan tantangan tersendiri, terutama bagi sektor yang bergantung pada impor atau memiliki kewajiban dalam valuta asing.
Sentimen global yang memengaruhi rupiah
Pengamat mata uang dan komoditas, Ibrahim Assuaibi, menjelaskan bahwa salah satu sentimen utama yang memengaruhi pergerakan rupiah berasal dari meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Kondisi tersebut mendorong kenaikan harga minyak global dan menimbulkan kekhawatiran di pasar keuangan.
“Ketegangan yang kembali meningkat di Timur Tengah dapat mengganggu beberapa produksi minyak di wilayah tersebut,” kata Ibrahim.
Gangguan pasokan minyak berpotensi mendorong inflasi global, yang pada akhirnya memengaruhi kebijakan moneter negara-negara besar. Situasi ini membuat investor cenderung bersikap defensif dan mengurangi eksposur terhadap aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia. Akibatnya, tekanan terhadap rupiah pun meningkat.
Selain faktor geopolitik, pasar juga menantikan rilis sejumlah data ekonomi penting dari Amerika Serikat. Data tersebut meliputi angka pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga, pesanan barang tahan lama bulan Oktober, serta data produksi industri untuk periode Oktober dan November.
Rangkaian data ini akan menjadi petunjuk arah kebijakan moneter The Federal Reserve ke depan, yang sangat berpengaruh terhadap pergerakan dolar AS dan mata uang global lainnya.
Tantangan domestik dan proyeksi ekonomi
Dari sisi domestik, pelaku pasar mencermati proyeksi ekonomi nasional ke depan. Menurut Ibrahim, perekonomian Indonesia masih akan menghadapi tantangan besar, baik yang berasal dari faktor global maupun dalam negeri. Ketidakpastian ekonomi dunia, perlambatan mitra dagang utama, serta dinamika geopolitik global menjadi tekanan eksternal yang tidak bisa diabaikan.
Di dalam negeri, daya tahan perekonomian juga diuji oleh sejumlah faktor. Pelemahan daya beli kelas menengah menjadi salah satu tantangan yang dapat memengaruhi konsumsi domestik. Selain itu, risiko inflasi pangan dan penurunan investasi asing di luar sektor hilirisasi turut menjadi perhatian. Kondisi ini menuntut kebijakan yang lebih adaptif dan responsif untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Meski dihadapkan pada tantangan tersebut, harapan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap ada. Pemerintah dinilai masih memiliki ruang untuk menjaga momentum pertumbuhan melalui berbagai stimulus dan reformasi struktural. Namun, efektivitas kebijakan tersebut akan sangat bergantung pada kondisi global dan kemampuan pemerintah dalam mengelola risiko ekonomi.
Arah pertumbuhan dan strategi ke depan
Ibrahim menilai bahwa dengan kondisi yang ada saat ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2026 diperkirakan berada di kisaran 4,9 hingga 5,1 persen. Untuk mencapai pertumbuhan di atas 5 persen, diperlukan upaya penguatan yang lebih serius di berbagai sektor. Penguatan sektor manufaktur dan jasa menjadi salah satu kunci utama untuk mendorong pertumbuhan yang lebih tinggi dan berkelanjutan.
Selain itu, peningkatan efektivitas stimulus ekonomi juga dinilai penting agar dampaknya dapat dirasakan secara merata. Perbaikan tata kelola fiskal menjadi faktor krusial untuk menjaga kepercayaan pasar dan memastikan kesinambungan kebijakan ekonomi. Dalam situasi global yang penuh ketidakpastian, kredibilitas kebijakan menjadi salah satu penopang utama stabilitas ekonomi nasional.
Dengan berbagai tantangan dan peluang tersebut, pergerakan rupiah ke depan akan sangat dipengaruhi oleh keseimbangan antara sentimen global dan respons kebijakan domestik.
Stabilitas nilai tukar tetap menjadi prioritas, mengingat perannya yang penting dalam menjaga kepercayaan investor dan kelangsungan aktivitas ekonomi. Oleh karena itu, koordinasi kebijakan yang kuat antara otoritas moneter dan fiskal menjadi kunci dalam menghadapi dinamika ekonomi global yang terus berubah.